Wilayah (dulu Stasi) Santa Theresia Brosot mempunyai seperangkat gamelan itu sudah sejak lama, kurang lebih sejak akhir dekade 90-an. Pada awal-awal gamelan itu ada, sering digunakan untuk latihan maupun untuk mengiringi misa, terutama pada waktu misa berbahasa Jawa. Saking populernya gamelan pada saat itu, mudika, baik yang sudah mahir maupun yang masih amatir sering latihan menabuh gamelan, dan bercita-cita suatu saat mudika mengiringi misa memakai gamelan. Akan tetapi, lama kelamaan semangat itupun surut, baik orang tua maupun mudika mulai kehilangan minat untuk menabuh gamelan lagi. Sampai-sampai, banyak umat yang tidak tahu, atau sudah lupa kalau Wilayah Brosot memiliki seperangkat gamelan. Ironis memang, alat yang sudah dibeli mahal dan penuh perjuangan, seakan-akan menjadi tidak ada fungsinya.
Kemudian timbul sebuah keprihatinan, “Éman-éman, wilayah nduwé gamelan kok ora tau ditabuh”, kata seorang pengurus wilayah. Akhirnya, sekitar bulan April 2007, Pak Tjokro selaku seksi karawitan wilayah menawarkan kepada mudika untuk latihan rutin gamelan dengan mengundang pelatih dari luar. Kemudian disepakati latihan sehabis misa minggu di aula gereja. Pada awalnya kami sempat ragu, jangan-jangan nanti tidak ada peminatnya, soalnya kan pada waktu itu anak muda lebih tertarik pada hal-hal yang dianggap modern, dan menghindari kesenian tradisional, seperti gamelan, wayang kulit, ketoprak, dll. Eh, tanpa disangka-sangka ternyata peminatnya banyak, anak-anak, mudika maupun bapak ibu pada antusias berlatih, sehingga mas Heru pun tambah semangat melatihnya.
Mendekati 17-an tahun 2007, ada ide dari beberapa mudika untuk ikut karnaval 17-an di Kecamatan Galur mewakili Gereja Brosot. “Wani ora mudika ngetoni karnaval 17-an?”, kata seorang teman mudika. Setelah beberapa kali di bahas bersama di kalangan mudika dan dengan sedikit kenekadan, akhirnya mudika dan mas Heru sebagai pelatih sepakat untuk ikut karnaval 17-an di Kecamatan Galur. Dengan hanya satu setengah bulan persiapan, dan mengalami beberapa kali perombakan personil, pada 16 Agustus 2007, Rampak Kendang mudika Brosot tampil untuk pertama kalinya di depan publik. Satu set drum, 2 saron, 1 demung, 2 bonang, 1 set gong, dan 10 buah kendang diangkut dengan 2 buah truk selama karnaval. Meskipun pada waktu itu tidak menyabet penghargaan apapun, hampir semua pihak yang terlibat merasa puas, dan mulai saat itu mudika brosot kembali akrab dengan gamelan. Memang ada beberapa pihak yang melemparkan kritik karena ada beberapa gamelan yang rusak setelah dipakai untuk karnaval. Harap maklum, karena kebanyakan mudika adalah pemula dalam menabuh gamelan sehingga karena terlalu semangat dalam menabuh, menjadikan beberapa gamelan penyok dan tidak stem lagi. Dasar cah enom, mendengar kritik semacam itu, ada mudika yang nyeletuk, “Mending gamelane rusak ditabuh timbangane rusak mergo ora tau dinggo!” Masalah itu akhirnya selesai dengan sendirinya setelah beberapa gamelan yang rusak diperbaiki. Setelah sempat vakum lama, pada karnaval tahun berikutnya, yaitu Agustus 2008 mudika brosot diajak bergabung dengan pemuda Dukuh 4 Brosot untuk mengikuti karnaval 17-an di tingkat kecamatan dan karnaval tingkat Kabupaten Kulon Progo.
Kemudian, ketika mendapatkan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam Festival Kesenian Tradisional OMK rayon KP, mudika Brosot sempat bingung, “Arep ngetoni opo yo iki?”. Awalnya sempat ragu untuk menampilkan rampak kendang lagi, mengingat jumlah personil yang dibutuhkan cukup banyak dan terutama yang menjadi pertimbangan adalah masalah biaya. Untuk menampilkan rampak kendang, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk latihan dan persiapan. Mudika tidak ingin memberatkan pengurus wilayah dan umat, apalagi baru saja wilayah Brosot disibukkan dengan pesta nama pelindung gereja dan rangkaian acara syukur setelah kompleks gereja dan pasturan selesai direhabilitasi karena gempa, dan rangkaian acara itu tentu saja menguras energi dan pikiran dari semua umat Wilayah Brosot, termasuk mudika.
Setelah beberapa kali dibahas di rapat intern mudika, dan terutama setelah konsultasi dengan beberapa tokoh wilayah, akhirnya disepakati mudika Brosot akan menampilkan rampak kendang. Persiapan dilakukan, terutama menyusun panitia dan anggaran dan beberapa hal lain, termasuk menentukan tempat latihan, yang kemudian disepakati latihan ditempat pak Tjokrokarjono, salah satu sesepuh wilayah Brosot. Dengan pelatih gamelan mas Heru Marjito dan pelatih tari sekaligus koreografer mbak Tini, kami berlatih setiap seminggu sekali. Pada awalnya hanya mudika brosot saja yang terlibat, akan tetapi karena kesibukan masing-masing, ada beberapa rekan yang menarik diri dari keikutsertaan, dan untuk menggenapi jumlah penampil yang dibutuhkan, kami mengajak beberapa teman non katolik untuk ikut membantu. Proses pergantian ini tidak terlalu berpengaruh pada progres latihan yang telah dicapai, karena teman-teman baru ini sudah kami kenal sebelumnya sehingga memudahkan dalam proses adaptasi.
Untuk tariannya, kami mencoba membuat sebuah alur. Alur cerita dari tarian ini adalah usaha dari mudika dan remaja untuk berperang melawan setan yang menjadi perwujudan dari hawa nafsu dan segala godaan di dunia ini. Akankah mudika dan remaja sanggup melawan godaan dan hawa nafsu atau tidak yang sekarang ini ada di sekeliling kita?
Secara teknis, lumayan banyak hambatan yang dialami, terutama menyatukan antara koreografi tari dengan aransemen gamelan. Itu ditambah dengan sulitnya meyusun jadwal latihan agar semuanya, baik itu penari maupun penabuh gamelan dapat latihan dengan komplit. Itu ditambah lagi dengan tugas rangkap dari kami semua, yaitu sebagai penampil yang punya kewajiban untuk latihan, dan juga menyiapkan sendiri segala sesuatunya yang diperlukan untuk latihan, dan juga memikirkan dan mengusahakan kebutuhan pendanaan yang dibutuhkan. Tentu juga kami masing-masing mempunyai kesibukan pribadi masing-masing, ada yang sekolah, kuliah, maupun kerja di lain tempat. Akhirnya, setelah sambat ke orang-orang tua, kami mendapat support yang sangat membantu kami dalam mempersiapkan rampak kendang ini dari awal sampai saat pementasan.
Dari semua ini, kami dapat mengambil banyak pelajaran. Yang pertama, gamelan itu meskipun banyak orang melihatnya kuno dan jadul akan tetapi ternyata sangat mengasyikkan bagi kami, apalagi kalau dimainkan dengan penuh kegembiraan. Yang kedua, jangan takut untuk mencoba! Ketika sesuatu itu kelihatannya sangat berat, tetapi kalau dipersiapkan dan dikerjakan bersama-sama, hasilnya akan baik, bahkan mungkin melebihi harapan kita sebelumnya.
Cast :
Demung : Agung ; Saron : Agus & Jendro ; Bonang : Retno & Desi ; Kenong : Atik ; Gong : Wahyu & Desi ; Kendang : Heru, Mita, Luwi, Christin ; Buto : Ardi, Danang, Narko, Tyas, Andri ; Penari : Lala, Deni, Novi, Wulan, Titi, Wikan, Ella, Vina, Ika, Anggi ; Pendamping : Pak Tjokro, Pak Hardana, Pak Mulyata, Pak Adi, Mbak Tini, Mbak Iva ; Kru : Eko, Tikno, Arin, Riskamto
Ditulis oleh :
Gregorius P Sukindro
Diterbitkan pertama kali pada Katalog Festival Kesenian Tradisional OMK Rayon Kulon Progo, Ngrukti Tradisi Ngupadi Jati Diri
Kemudian timbul sebuah keprihatinan, “Éman-éman, wilayah nduwé gamelan kok ora tau ditabuh”, kata seorang pengurus wilayah. Akhirnya, sekitar bulan April 2007, Pak Tjokro selaku seksi karawitan wilayah menawarkan kepada mudika untuk latihan rutin gamelan dengan mengundang pelatih dari luar. Kemudian disepakati latihan sehabis misa minggu di aula gereja. Pada awalnya kami sempat ragu, jangan-jangan nanti tidak ada peminatnya, soalnya kan pada waktu itu anak muda lebih tertarik pada hal-hal yang dianggap modern, dan menghindari kesenian tradisional, seperti gamelan, wayang kulit, ketoprak, dll. Eh, tanpa disangka-sangka ternyata peminatnya banyak, anak-anak, mudika maupun bapak ibu pada antusias berlatih, sehingga mas Heru pun tambah semangat melatihnya.
Mendekati 17-an tahun 2007, ada ide dari beberapa mudika untuk ikut karnaval 17-an di Kecamatan Galur mewakili Gereja Brosot. “Wani ora mudika ngetoni karnaval 17-an?”, kata seorang teman mudika. Setelah beberapa kali di bahas bersama di kalangan mudika dan dengan sedikit kenekadan, akhirnya mudika dan mas Heru sebagai pelatih sepakat untuk ikut karnaval 17-an di Kecamatan Galur. Dengan hanya satu setengah bulan persiapan, dan mengalami beberapa kali perombakan personil, pada 16 Agustus 2007, Rampak Kendang mudika Brosot tampil untuk pertama kalinya di depan publik. Satu set drum, 2 saron, 1 demung, 2 bonang, 1 set gong, dan 10 buah kendang diangkut dengan 2 buah truk selama karnaval. Meskipun pada waktu itu tidak menyabet penghargaan apapun, hampir semua pihak yang terlibat merasa puas, dan mulai saat itu mudika brosot kembali akrab dengan gamelan. Memang ada beberapa pihak yang melemparkan kritik karena ada beberapa gamelan yang rusak setelah dipakai untuk karnaval. Harap maklum, karena kebanyakan mudika adalah pemula dalam menabuh gamelan sehingga karena terlalu semangat dalam menabuh, menjadikan beberapa gamelan penyok dan tidak stem lagi. Dasar cah enom, mendengar kritik semacam itu, ada mudika yang nyeletuk, “Mending gamelane rusak ditabuh timbangane rusak mergo ora tau dinggo!” Masalah itu akhirnya selesai dengan sendirinya setelah beberapa gamelan yang rusak diperbaiki. Setelah sempat vakum lama, pada karnaval tahun berikutnya, yaitu Agustus 2008 mudika brosot diajak bergabung dengan pemuda Dukuh 4 Brosot untuk mengikuti karnaval 17-an di tingkat kecamatan dan karnaval tingkat Kabupaten Kulon Progo.
Kemudian, ketika mendapatkan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam Festival Kesenian Tradisional OMK rayon KP, mudika Brosot sempat bingung, “Arep ngetoni opo yo iki?”. Awalnya sempat ragu untuk menampilkan rampak kendang lagi, mengingat jumlah personil yang dibutuhkan cukup banyak dan terutama yang menjadi pertimbangan adalah masalah biaya. Untuk menampilkan rampak kendang, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk latihan dan persiapan. Mudika tidak ingin memberatkan pengurus wilayah dan umat, apalagi baru saja wilayah Brosot disibukkan dengan pesta nama pelindung gereja dan rangkaian acara syukur setelah kompleks gereja dan pasturan selesai direhabilitasi karena gempa, dan rangkaian acara itu tentu saja menguras energi dan pikiran dari semua umat Wilayah Brosot, termasuk mudika.
Setelah beberapa kali dibahas di rapat intern mudika, dan terutama setelah konsultasi dengan beberapa tokoh wilayah, akhirnya disepakati mudika Brosot akan menampilkan rampak kendang. Persiapan dilakukan, terutama menyusun panitia dan anggaran dan beberapa hal lain, termasuk menentukan tempat latihan, yang kemudian disepakati latihan ditempat pak Tjokrokarjono, salah satu sesepuh wilayah Brosot. Dengan pelatih gamelan mas Heru Marjito dan pelatih tari sekaligus koreografer mbak Tini, kami berlatih setiap seminggu sekali. Pada awalnya hanya mudika brosot saja yang terlibat, akan tetapi karena kesibukan masing-masing, ada beberapa rekan yang menarik diri dari keikutsertaan, dan untuk menggenapi jumlah penampil yang dibutuhkan, kami mengajak beberapa teman non katolik untuk ikut membantu. Proses pergantian ini tidak terlalu berpengaruh pada progres latihan yang telah dicapai, karena teman-teman baru ini sudah kami kenal sebelumnya sehingga memudahkan dalam proses adaptasi.
Untuk tariannya, kami mencoba membuat sebuah alur. Alur cerita dari tarian ini adalah usaha dari mudika dan remaja untuk berperang melawan setan yang menjadi perwujudan dari hawa nafsu dan segala godaan di dunia ini. Akankah mudika dan remaja sanggup melawan godaan dan hawa nafsu atau tidak yang sekarang ini ada di sekeliling kita?
Secara teknis, lumayan banyak hambatan yang dialami, terutama menyatukan antara koreografi tari dengan aransemen gamelan. Itu ditambah dengan sulitnya meyusun jadwal latihan agar semuanya, baik itu penari maupun penabuh gamelan dapat latihan dengan komplit. Itu ditambah lagi dengan tugas rangkap dari kami semua, yaitu sebagai penampil yang punya kewajiban untuk latihan, dan juga menyiapkan sendiri segala sesuatunya yang diperlukan untuk latihan, dan juga memikirkan dan mengusahakan kebutuhan pendanaan yang dibutuhkan. Tentu juga kami masing-masing mempunyai kesibukan pribadi masing-masing, ada yang sekolah, kuliah, maupun kerja di lain tempat. Akhirnya, setelah sambat ke orang-orang tua, kami mendapat support yang sangat membantu kami dalam mempersiapkan rampak kendang ini dari awal sampai saat pementasan.
Dari semua ini, kami dapat mengambil banyak pelajaran. Yang pertama, gamelan itu meskipun banyak orang melihatnya kuno dan jadul akan tetapi ternyata sangat mengasyikkan bagi kami, apalagi kalau dimainkan dengan penuh kegembiraan. Yang kedua, jangan takut untuk mencoba! Ketika sesuatu itu kelihatannya sangat berat, tetapi kalau dipersiapkan dan dikerjakan bersama-sama, hasilnya akan baik, bahkan mungkin melebihi harapan kita sebelumnya.
Cast :
Demung : Agung ; Saron : Agus & Jendro ; Bonang : Retno & Desi ; Kenong : Atik ; Gong : Wahyu & Desi ; Kendang : Heru, Mita, Luwi, Christin ; Buto : Ardi, Danang, Narko, Tyas, Andri ; Penari : Lala, Deni, Novi, Wulan, Titi, Wikan, Ella, Vina, Ika, Anggi ; Pendamping : Pak Tjokro, Pak Hardana, Pak Mulyata, Pak Adi, Mbak Tini, Mbak Iva ; Kru : Eko, Tikno, Arin, Riskamto
Ditulis oleh :
Gregorius P Sukindro
Diterbitkan pertama kali pada Katalog Festival Kesenian Tradisional OMK Rayon Kulon Progo, Ngrukti Tradisi Ngupadi Jati Diri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar