Selamat datang di BLog Gereja St. Theresia Brosot Bookmark and Share

Kamis, 22 Oktober 2009

Lingkungan St Yohanes Ngentakreja, Stasi Brosot, Paroki St Yakobus Bantul

Brosot, sore hari pukul 15.00 WIB. Suasana desa Ngentakrejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo cukup lengang. Musim kemarau yang sedang melanda nampak nyata dengan sedikitnya debit air yang mengalir di Sungai Progo, beberapa kilometer dari desa ini. Pohon jati yang banyak tumbuh di daerah ini, dengan daerah kapur yang keras, menggugurkan daunnya, tanda musim kemarau yang miskin air. Di sepanjang jalan, saya melihat beberapa petani mengangkut hasil pertaniannya. Kontras dengan jalan yang mulus, sekeliling jalan kecamatan adalah daerah yang tandus. Padahal Sungai Progo mengalir di dekatnya. Itulah gambaran untuk melukiskan keadaan Lingkungan Ngentakrejo, Stasi Brosot, Paroki St Yakobus Bantul.
Sesampai di rumah ketua lingkungan St Yohanes Ngentakreja, Pak Darmin, saya diajak untuk berkunjung ke semua warga lingkungan. Rupanya satu lingkungan St Yohanes, terdiri dari 2 kelurahan, yakni Ngentakreja dan Gulureja. Meski terdiri dari 2 kelurahan, satu lingkungan hanya terdiri dari 12 Kepala Keluarga. Maka jadilah saya diantar Pak Darmin mengunjungi semua umat lingkungan St Yohanes ini. Secara umum umat yang tinggal di wilayah pedesaan ini amat terbuka. Kami disambut dengan senang hati.
Data-data Umat
Jumlah umat lingkunga ini hanya 48 orang. Kebanyakan dari umat adalah golongan tua sebagai efek urbanisasi. Kaum muda hanya ada satu orang. Sementara remaja dan anak-anak ada 14 orang.
Saya akan menganalisis situasi umat di lingkungan ini dengan metode SWOT atau mencari kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan.
Kekuatan
Jumlah umat yang sedikit justru membuat relasi umat menjadi sangat kuat. Terbukti dengan doa rosario lingkungan yang rutin dilakukan setiap malam minggu. Semua pihak, mulai dari orang tua dan para bapak mampu saling mendukung. Dilihat dari data kehadiran ketika sarasehan rekoleksi, umat yang hadir adalah 25.
Situasi masyarakat cukup kondusif karena sikap toleransi dan pluralisme berkembang. Hubungan antar agama terjalin melalui kegiatan sosial bersama. Kegiatan olahraga, gotong royong dan pekerjaan lain terlaksana tanpa membeda-bedakan agama.
Remaja yang ada cukup potensial karena sejak dini sudah dididik dalam Pembinaan Anak Usia Dini (PAUD). Setiap minggu sore, anak-anak diajar oleh aktivis gereja dari Stasi Brosot untuk mengikuti kegiatan ini.
Kelemahan
Dari dua kelurahan hanya ada 12 kepala keluarga yang menjadi Katolik. Mayoritas adalah Islam. Meski cukup toleran, ada kalanya tetangga muslim juga bertindak diskriminatif.
Keadaan kaum muda Katholik yang amat sedikit membuat gerakan atau ide-ide inovasi untuk pengembangan lingkungan tidak nampak. Karena didominasi oleh orang tua, pandangan-pandangan hidup yang terlalu ndesa, kuno, kurang up to date, agak memengaruhi hidup orang di situ. Ketika doa bersama, lagu-lagu hanya itu-itu saja, tidak banyak perkembangan berarti.
Peluang
Jumlah yang relatif sedikit justru akan menguatkan iman umat. jumlah tidak menjadi soal, yang penting adalah soal kualitas. Dalam rekoleksi itu, saya memberi sedikit renungan tentang hal kecil yang bersinar. Artinya, meskipun mereka kecil, itu justru menjadi kesempatan untuk bersaksi, menunjukkan Kekatolikan yang dihayati dalam cinta hidup sehari-hari mereka di hadapan umat beragama lain. Memang aktifitas orang Katolik banyak menarik kaum agama Muslim sehingga ada yang ingin menjadi Katolik. Namun, karena sistem keislaman pedesaan yang cukup kuat, keinginan untuk berpindah agama menjadi sulit.
Tantangan
Pengembangan kaum remaja untuk regenerasi kepemimpinan menjadi agenda mendesak. Hampir tidak ada kaum muda yang tetap tinggal di Ngentakreja. Oleh karena itu, pengembangan remaja, di samping penguatan bagi kaum tua, menjadi agenda yang penting. Pengembangan kaum remaja cukup potensial, karena para remaja adalah putra putri dari para pemuka agama, seperti putra prodiakon, ketua lingkungan.
Sejarah Umat Lingkungan St Yohanes Ngentakreja
Ketika geger G30 S, banyak warga Ngentakreja yang diciduk tentara karena terlibat dalam organisasi PKI. Pada waktu itu, sesudah peristiwa 1965 itu, semua warga wajib memeluk agama yang dianjurkan pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Seorang warga, yakni Pak Y Jumidiharjo menjadi orang pertama di daerah Brosot, yang memeluk agama Katolik. Maka dari seorang inilah Kristianitas berkembang hingga sekarang menjadi 12 kepala kelurga di desa Ngentakreja.

Lingkungan ini sangat kecil. Namun justru yang kecil ini digosok agar bersinar. Seperti halnya refleksi Rm Mangun, bahwa karya dimulai dari hal kecil dan nantinya akan bersinar, hendaknya pengembangan lingkungan ini pun demikian sehingga mereka mampu menjadi saksi bagi semua umat Muslim di kecamatan Lendah ini.


Yogyakarta, 22 Oktober 2009

Fr David Susilo Nugroho

“Untung Lilin itu Masih Menyala”

Rekoleksi Umat di Paroki Yakobus Bantul ini merupakan sebuah kesempatan mendalami dan merefleksikan pengalaman iman umat di tengah masyarakat. Sebuah kesempatan untuk melihat dan mengenal Allah secara lebih dekat dalam pribadi-pribadi yang dijumpai. Aku mulai menjalani dinamika bersama umat lingkungan pada hari Senin 12 Oktober yang lalu. Yah, memang penuh dengan spontanitas dan unpredictable situation karena aku baru tahu kalau ditempatkan di Lingkungan Srandakan, Stasi Brosot ketika aku tiba di paroki, siang hari itu. Tak lama kemudian sekitar jam 4 sore aku sudah tiba di pondokanku, rumah keluarga Pak Karsidi. Saat sampai di rumah, segera aku diajak diskusi untuk kunjungan umat dan merencanakan ibadat lingkungan bersama Pak Paijan. Lama aku, Pak Karsidi dan Pak Paijan ngobrol ngalor ngidul sampai akhirnya tiba waktu untuk kunjungan umat dan bersiap untuk pertemuan malam itu (senin malam). Penyertaaan Tuhan dan janjiNya yg akan menemaniku kurasakan dalam situasi yang tidak mendukung dan serba mendadak/ spontan. Hasil keputusan sore hari itu: aku diantar berkelilling Lingkungan St Antonius Srandakan sore hari itu dan pagi harinya serta mengadakan 1X pertemuan. Syukur kepada Allah langkahku semakin jelas.

Nah, sore itu aku berkunjung ke rumah keluarga calon ketua lingkungan, Pak Joko, lalu ke rumah ketua lingkungan yang sedang sakit, ke rumah para sesepuh dan keluarga yang perlu diperhatikan. Untunglah, waktu kunjungan sore itu cukup dan aku tiba di pondokan dengan waktu yang masih cukup untuk beristirahat dan bersih-bersih diri. Tak lama, aku sudah mempersiapkan bahan ibadat dan doa lingkungan di tempat Pak Karsidi dengan bahan persekutuan dan cara hidup jemaat dengan mengambil teladan St Antonius pelindung lingkungan ini. Ada istilah di lingkungan tersebut ketika ibadat yang dan kegiatan lingkungan selalu dikaitkan dengan angka ’45. Angka tersebut tidak hanya mewakili angkatan yang hadir, yakni angkatan ’45 (sepuh-sepuh) tetapi juga yang hadir hanya 4-5 orang. Aku cukup gembira dan senang karena kurang lebih umat yang hadir saat itu lebih dari perkiraan. Umat yang hadi bersama tuan rumah sebanyak 9 orang. Kesempatan yang tersebut kuberikan kepada umat untuk sharing. Ternyata, keluar juga aneka macam uneg-uneg yang sudah lama ingin disampaikan oleh mereka berkaitan dengan keprihatinan hidup umat: iman yang kurang mengakar (umat pindah agama), perkawinan bermasalah, sampai keprihatinan sebagai kelompok minoritas di tengah masyarakat. Saat mendengarkan sharing tersebut, aku merasa amat bersyukur..Tuhan, syukur kepada-Mu, lilin umat lingkungan St Antonius ini belum padam. Masih ada secercah sinar dan harapan. Aku lalu mengambil kesempatan itu untuk berproses keluar dari hal-hal negatif/ negatif thinking menuju positif thinking. Ada hal-hal yang sudah berjalan baik di lingkungan, tetapi masih bisa dilanjutkan dan dikembangkan. Kebiasaan negatif dan putus asa menghidupkan kegiatan umat itulah yang lalu kuolah bersama umat hingga pada akhirnya mereka kuantar untuk mengusahakan positif thinking dalam membina hidup bersama. Muncul harapan baru untuk menghidupkan kegiatan, beranjak dari masa senja dan kegelapan menuju fajar cerah, minimal untuk umat yang hadir saat itu. Petemuan berjalan dengan lancar dan penuh suasana kekeluargaan sampai-sampai tidak sadar kalau waktu telah mulai larut.

Pagi hari aku bangun cukup pagi, seperti biasa, pukul 05.00. Setelah berbagai aktifitas pagi dan persiapan, pukul 08.00, Pak Paijan menjemputku untuk melanjutkan kunjungan umat. Rasanya senang dan lega juga meski masih jauh dari perkiraan yang dapat dikunjungi. Aku mengatakan kepada Pak Paijan, jika suatu hari aku datang, aku masih diberi kesempatan untuk mengunjungi umat, dan hadir untuk berlajar bersama mereka. Bukan dalam rangka rekoleksi umat lagi tetapi aku sudah merasa mereka sebagai sahabat yang menemani perjalanan imamatku. Syukur kepada Tuhan atas pengalaman perjumpaan dengan umat yang makin menguatkan panggilanku menjadi calon imam untuk Keuskupan Agung Semarang. Amin



Kentungan, 22 Oktober 2009

Fr. Merdy Nugroho

Dari Sebuah Kerinduan Umat

Saya mendampingi umat di Kantris (Kanthongan-TrisiK). Ada dua hal yang menjadi kerinduan umat di wilayah Kantongan Trisik (Kantris) ini:

  1. Umat Kanthongan Trisik merindukan Romo yang mau turun ke bawah. Mereka merindukan romo yang mau menyapa mereka dan mengunjungi rumah mereka. Mereka merasa bahwa dalam hal peribadatan dan pelayanan sakramen, Romo sudah sangat baik. Tetapi dalam pastoral ke bawah, Romo dirasa masih kurang. Mereka merindukan kunjungan Romo ke rumah-rumah mereka. Bila sapaan ini bisa diwujudkan, alangkah bahagianya mereka. Hal ini tentunya dapat direfleksikan dari kisah Gembala dengan domba-dombanya. Apalagi Romo paroki bisa memperhatikan domba-domba “yang sudah keluar atau pun sedang mau keluar dari Gereja”, entah karena pernikahan atau karena alasan ekonomi. Mungkin inilah saatnya, Romo turun ke bawah untuk menyapa umat, dan melihat dari dekat apa yang benar-benar menjadi kesulitan dan kebutuhan umat. Dan inilah yang menjadi kerinduan umat di wilayah ini.
  2. Umat Kantongan Trisik juga merindukan adanya pemerataan biaya jika ada iuran-iuran untuk kegiatan Gerejawi. Ketika sharring, mereka mensharingkan bagaimana kesulitan mereka untuk melakukan iuran-iuran Gerejawi di tengah-tengah kesulitan hidup yang mereka hadapi. Mereka merindukan supaya ada pemerataan biaya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing wilayah. Mereka mengharapka agar Biaya untuk urusan Gerejawi tidak menjadi batu sandungan untuk pergi ke Gereja. Mereka ingin menyumbangkan seperti apa yang mereka mampu. Sejenak melihat situsi umat di wilayah Kanthongan Trisik. Umat di wilayah Kantongan Trisik, adalah umat yang merupakan umat yang sederhana. Mereka hidup dari pertanian, nelayan, buruh, dan pekerjaan tidak tetap lainnya. Dari sekian Kepala Keluarga (KK) yang ada, hanya ada beberapa KK saja yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan baik. Setelah dihitung-hitung oleh mereka sendiri, mereka menyimpulkan bahwa hanya ada 3 KK yang dirasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dengan baik. Yang lainnya, harus bekerja sedemikian keras untuk hidup sehari-hari dan untuk pembiayaan sekolah anak. Belum lagi kalau ada yang sakit. Hal ini tentunya dirasa berat oleh mereka jika mereka harus iuran sesuai dengan tuntutan yang ada. Umat di wilayah Kantongan Trisik menghendaki agar iuran-iuran yang ada disesuaikan dengan keadaan mereka. Semampu mereka untuk memberi iuranlah, itulah yang dikumpulkan. Jadi bukan seharusnya apa yang mereka kumpulkan, tetapi senyatanya apa yang bisa mereka kumpulkan. Selama ini, pembagian iuran tidak begitu, dan mereka mengeluhkan hal ini. Contoh konkret: pada waktu sharring, mereka menceritakan ada iuran untuk suatu kegiatan gerejawi. (mohon maaf, saya sendiri lupa nama kegiatannya). Setelah kebijakan mengenai pembiayaan kegiatan itu turun ke bawah, maka kebijakan itu sampai di wilayah. Ada kebijakan dari wilayah Brosot bahwa biaya kegiatan untuk wilayah Brosot dibagi rata sesuai dengan jumlah lingkungan yang ada. Akibatnya, lingkungan Kantongan Trisik mendapat jumlah yang sama dengan lingkungan lainnya, padahal jumlah KK yang ada di lingkungan Kantongan Trisik tidak sebesar lingkungan lainnya dan situasi sosial umat yang ada di Kantongan Trisik bisa dicermati dari uraian saya di atas. Hal ini yang tentunya membuat umat lingkungan Kantongan Trisik Keberatan. Harapan mereka, semoga hal ini dapat menjadi acuan bagi Romo Paroki untuk merumuskan kebijakan yang baik bagi semua umat, sehingga dengan demikian tidak ada umat yang merasa terbebani dan bahkan tidak menjadi batu sandungan bagi umat untuk pergi ke Gereja.

Kiranya dua poin itulah yang menjadi kenthos/galih dari refleksi saya. Atas perhatiannya, saya mengucapkan banyak terima kasih.



Hormat saya,

Fr. Robertus Wawan Setyawan

Pendamping Rekoleksi umat lingkungan Kantris

Senin, 12 Oktober 2009

Lingkungan St. Alfonsus de Liguori Lendah Wilayah Brosot

  1. Data

1. Umat

Umat Lingkungan St. Alfonsus de Liguori Lendah berjumlah kurang lebih 14 Keluarga. Masing-masing umat terpisah rumahnya, dengan jarak yang relatif berjauhan. Adapun ke 14 Keluarga tersebut sejauh saya catat adalah Keluarga:

Bpk. Supardiman Ibu Mudiyono Bpk Narwito

Bpk. Sunar Bpk. Cokro Bpk. Hendro W

Bpk. Sugiyanto Bpk. Sujoko Bpk. Ratno Budiwardaya

Bpk. Yoh. Marwanto Bpk. Martawiyana Bpk. Mul

** Masih ada 2 keluarga yang tidak tercatat

Mudika seluruhnya berjumlah 7 orang. Anak-anak sangat sedikit.

Sebagian besar umat bermata pencaharian sebagai petani, lainnya ada yang menjadi guru, seorang menjadi anggota DPRD ada pula yang telah pensiun. Keadaan lingkungan masih dibilang dalam iklim pedesaan.

2. Sejarah Lingkungan

Sejarah lingkungan yang saya tulis di sini bisa jadi ada kekeliruannya mengingat bahwa hanya saya catat dalam jalannya sarasehan, tanpa ada notolen khusus. Dan, nara sumber mengaku kalau melihat catatannya di rumah pasti data itu lebih lengkap. Nara sumber yang paling tahu adalah Bpk. Cokro, yang sekarang masih dalam keadaan sehat, tinggal di Lendah, menghabiskan masa pensiunnya. Namun, sejarah ini, kurang lebih bisa memberi gambaran jalannya hidup umat di lingkungan Lendah.

Sejarah umat di Lingkungan Lendah dimulai dengan didirikannya HIS di Lendah Kidul pada tahun 1927. Sekolah ini dirintis oleh Lurah Imarenggo dan Romo dari Kota Baru. Mulailah ada peajaran katekumen. Akan tetapi orang yang akan ke Lendah Kidul dihalang-halangi. Maka, diadakan wulangan di Lendah Lor di rumah Bpk. Seca.

Pada tahun 1930 ada Baptisan pertama berjumlah 3 orang, yaitu Ibu Sabruk, Ibu Pupus/Puspa, dan seorang lagi yang kurang diingat namanya. Disusul tahun 1934 ada baptisan putra-putra termasuk Bpk. Cokro, yang menjadi nara sumber sejarah yang saya tulis ini. Kemudian, tanggal 13 Mei 1935 ada baptisan massal sebanyak 25 orang. Mgr. Willekens sempat hadir memberi Sakramen Krisma sebanyak 25 krismawan-wati.

Pada zaman Jepang umat Katolik mati suri karena gembala umat atau pastornya banyak yang diinternir Jepang. Gereja Brosot diambil alih dan dijadikan tempat menenun. Guru agama juga tidak berani mengajar.

Tahun 1944, umat Katolik mulai bergeliat. Tokoh waktu itu adalah Bpk Amir, ayahanda bapa Uskup Mgr. I. Suharyo, yang waktu itu menjadi pegawai pengairan kecamatan di daerah Brosot. Tahun 1950 ada sekolah misi di Dalangan dan Siliran. Guru-guru membantu pelajaran agama Katolik.

Setelah G 30 S ada 42 baptisan. Stasi Brosot pernah berpindah-pindah paroki. Mulai kitu pariki Kota Baru, kemudian ikut Bintaran, kemudian Pugeran, Ganjuran dan akhirnya ikut Klodran Bantul sampai sekarang. Pada masa Rm Adiwardaya Stasi Brosot dibagi menjadi 5 lingkungan seperti sekarang ini.

Itulah sejarah singkat lingkungan Lendah dari hasil pembicaraan bersama umat. Semoga data ini dapat dilengkapi dengan wawancara lebih intensif dengan Bpk. Cokro yang mengetahui banyak tentang sejarah lingkungan.

  1. Sarasehan Bersama Umat

Sebelum sarasehan saya bersama pamong lingkungan mengunjungi umat lingkungan Lendah. Dari wajah mereka, nampak bahwa kunjungan ini menjadi perjumpaan yang menyenangkan, bagi mereka (dan juga saya). Seperti tradisi di desa, setiap rumah menyediakan makanan dalam kunjungan itu. Sampai-sampai saya harus terlalu kenyang karena kalau tidak dimakan umat pasti kurang “lega”.

Sarasehan umat berjalan menyenangkan. Umat yang hadir banyak, hanya beberapa keluarga yang tidak hadir, satu atau dua keluarga. Yang menggembirakan lagi adalah bahwa mudika lingkungan semuanya datang, hanya satu yang tidak datang karena memang sedang kuliah dan kos di Jogja. Menakjubkan! Mereka hadir dan juga mau menyumbangkan sesuatu, mengemukakan sesuatu di dalam sarasehan.

Adapun beberapa hal yang kami temukan di dalam sarasehan adalah sebagai berikut:

1. Sejarah Lingkungan (sudah saya tuliskan di atas)

2. Keadaan Lingkungan saat ini

Jumlah umat tidak begitu banyak karena tidak sedidit yang menyebar ke tempat lain, di luar kota, di kota, maupun di luar pulau seperti di Kalimantan. Keadaan umat guyub, termasuk yang muda.

3. Nilai-nilai positif yang ada di lingkungan

Ada beberapa hal yang baik dari lingkungan:

· adanya rasa kepercayaan terhadap orang yang diberi tugas sebagai pengurus

· hubungan harmonis antara yang muda dan tua (hal ini sangat nampak dari keaktifan mudika, mereka tidak merasa tertekan denan kaum kaum tua),

· yang tua memberi contoh kepada yang muda,

· ada pengurus yang berganti-ganti.

· Sudah ada kegiatan yang menjangakau seluruh lapisan umat. Anak-anak PIA di Stasi, mudika selain di lingkungan juga ada gabung di stasi, koor lingungan, juga ada doa bergilir setiap malam Minggu.

4. Keprihatinan

· Belum ada cukup orang yang bersedia menjadi prodiakon

· Umat kurang berani tampil, misalnya saat doa umat, jarang umat yang berani berdoa.

  1. Refleksi Pribadi

Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk bersama umat berusaha menemukan gerak Gereja yang tumbuh. Saya gembira melihat keadaan umat yang bersemangat, saya merasakan kebahagiaan umat dalam perjumpaan kami. Pengalaman luar biasa bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka.

Melihat keadaan umat di Lendah apalagi kaum muda, membuat saya memiliki tambahan optimisme bahwa masih ada orang muda yang peduli terhadap Gereja di lingkungannya. Saya akui, saya salut dengan anak muda di sana yang bisa memiliki sikap kompak teradap yang tua, dan memiliki kepedulian meski jumlah mereka sedikit, hanya bertujuh. Di situlah ditunjukkan bahwa kualitas tidak selalu bergantung pada kuantitas. Semoga tetap menjadi lingkungan yang hidup dan lebih hidup. Amin.

Terimakasih.........

Fr. Wahyu Rusmana

Dari hasil refleksi umat Lingkungan Lendah, 12 Oktober 2009

Refleksi Umat Lingkungan Bartolomeus (Diaz) Brosot, Sabtu 12 Oktober 2009

Dalam rangka menyambut ulang tahun paroki yang ke-75 dan menjelang peresmian gereja paroki St. Yakobus Klodran Bantul, diadakan refleksi bersama di rumah Bapak Yatiman yang dihadiri 26 orang umat lingkungan Brosot. Ada begitu banyak cerita dan pengalaman hidup menggereja yang terungkap dalam pertemuan bersama ini. Dari aneka macam cerita dan pengalaman itu, ada beberapa butir refleksi yang perlu mendapat perhatian. Berikut ini butir-butir refleksi tersebut:

A. Cerita Masa Lalu

o Asal nama wilayah Santa Theresia Brosot. Tiga orang putra daerah yang dibaptis pertama kali: Bonifasius Kaswan, Theresia Sumartin, Katarina Sarjiah. Pada tahun 1980 Kardinal Darmayuwono rawuh. Ketika memimpin misa di kapel Brosot, beliau terkesan dengan rangkaian bunga hasil kebun sendiri tetapi dapat memeriahkan suasana kapel. Saat kunjungan inilah, Kardinal meresmikan kapel Brosot dengan nama pelindung St Theresia. Nama ini diambil dari putra daerah baptisan pertama, Theresia Sumartin yang meninggal muda. Mulai menjadi 5 lingkungan pada tahun 1974 saat Pak Sis menjadi ketua. Namun, kelima lingkungan tersebut belum mempunyai nama santo pelindung (hanya disebut kelompok 1, 2, 3, 4, dan 5).

o Mengapa ikut paroki Bantul? Awalnya, wilayah Brosot masuk paroki Ganjuran. Namun, karena tenaga romo di paroki Ganjuran kurang, pada tahun 1966 ikut paroki Wates. Romo paroki Wates lebih dekat dan lebih memungkinkan untuk melayani umat di Brosot. Pada tahun 1968, Romo Adiwardoyo berpindah tugas dari paroki Wates ke paroki Bantul. Karena kedekatan Rm Adi dengan umat Brosot, maka ketika berpindah tugas ke paroki Bantul, umat Brosot pun ikut berpindah ke Bantul. Selain alasan tersebut, kepindahan itu juga berkaitan dengan transportasi. Saat itu kendaraan menuju ke Wates sangat sedikit (hanya satu-dua becak atau andong), sedangkan untuk pergi ke Bantul, ada banyak kendaraan. Sejak tahun 1968 itulah, umat wilayah Brosot masuk paroki Bantul.

o Asal nama lingkungan Bartolomeus Diaz. Ada sebuah persoalan dengan nama Bartolomeus Diaz ini. Baik dalam buku para kudus ataupun data di internet, tidak ditemukan nama Santo Bartolomeus Diaz. Memang di internet (www.wikipedia.com) disebutkan seorang tokoh bernama Bartolomeus Diaz. Dia adalah seorang romo yang ikut dalam kapal Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis untuk mencari jalan laut menuju benua Asia yang kaya akan rempah-rempah. Namun tidak disebutkan bahwa Bartolomeus Diaz adalah seorang Santo. Sejauh yang diketahui umat, nama itu berasal dari Romo Karto yang dulu pernah berkarya di paroki Bantul. Ada pula yang pernah menjumpai nama “Bartolomeus dari Diaz” di buku Padupan Kencana. Karena tidak ada sumber yang pasti, akhirnya ada seorang umat yang menghubungi Rm Karto via SMS. Beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah Santo Bartolomeus dari kedua belas rasul Yesus (mengacu pada PPDB tahun 1991). Dengan demikian akhirnya disepakati bahwa nama lingkungan Bartolomeus Diaz diganti menjadi lingkungan Bartolomeus. Keputusan ini juga sudah saya sampaikan kepada Rm Minarto dan Rm Hartono sebagai pastor paroki Bantul.

B. Data Masa Kini

o Data umat. Dari data yang dihimpun mudika, tampak bahwa ada kenaikan jumlah umat lingkungan Brosot. Data menunjukkan bahwa umat lingkungan Brosot, mayoritas adalah ibu-ibu. Dari cerita-cerita, dana dan kegiatan untuk ibu-ibu lingkungan Brosot sudah memuaskan. Ada arisan untuk sarana perjumpaan ibu-ibu. Anggaran lingkungan banyak tercurah untuk konsumsi yang juga dikelola oleh ibu-ibu.

o Mudika. Selain ibu-ibu, umat lingkungan juga didominasi oleh mudika. Namun, sayangnya mudika dirasa kurang aktif. Sebagai contoh, dari total 22 orang mudika, yang datang pertemuan refleksi malam ini hanya 1 orang. Sebenarnya sudah ada beberapa acara rutin bagi kaum muda seperti latihan koor, memimpin doa bersama, pernah juga ada olah raga bersama. Namun, ada keluhan bahwa mudika yang datang hanya itu-itu saja. Ada banyak alasan yang diungkapkan seperti zaman yang sudah berubah, adanya mudika yang merantau, atau ada pula mudika yang merasa kurang disapa (dicuekin), dan sebagainya. Refleksi tentang mudika ini menjadi amat menarik karena bapak dan ibu menceritakan pengalaman pribadi ketika mendampingi putra-putri masing-masing yang masih mudika. Akhirnya disadari bersama bahwa untuk menghidupkan mudika, orang tua perlu mengingatkan (ngopyak-opyak) putra-putri masing-masing. Namun, itu saja belum cukup. Dari mudika sendiri perlu semangat untuk terlibat (jangan mbeler). Pak Hardono menekankan perlunya rasa cinta kepada Gereja dari kaum muda.

o Kekhasan umat. Pertama, sebagian besar umat memang asli berasal dari Brosot, meski ada beberapa umat yang datang dari daerah lain. Kedua, ada sejumlah umat yang dibaptis dewasa. Artinya, mereka berasal dari keluarga yang bukan Katolik. Di satu sisi, hal ini menunjukkan betapa umat Brosot mempunyai iman kristiani yang gigih (ada motivasi internal). Namun, di lain sisi, hal ini menimbulkan beberapa persoalan berkaitan dengan hubungan antar agama. Bukan dalam arti sosial masyarakat, namun dalam arti hubungan internal keluarga (relasi, komunikasi iman, perkawinan beda agama). Ketiga, dalam hal jumlah, umat lingkungan Brosot lebih banyak dari lingkungan lain di Wilayah St Theresia Brosot. Dalam hal letak, umat lingkungan Brosot juga dekat dengan kapel Wilayah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dinamika umat lingkungan St Bartolomeus Brosot sangat mempengaruhi dinamika umat Wilayah St Theresia Brosot pada umumnya.

C. Rencana Masa Nanti

o Nama pelindung. Umat sepakat untuk mengganti nama pelindung St Bartolomeus Diaz menjadi St Bartolomeus dengan alasan yang telah tersbut di atas. Maka perlu adanya catatan tertulis yang diserahkan ke paroki sebagai arsip.

o Kaum muda. Akan ada pembinaan khusus untuk mudika. Pak Adi dan Bu Wiwik dipilih sebagai pendamping mudika lingkungan St Bartolomeus yang akan membimbing dan menemani kaum muda untuk semakin terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja. Selain itu, kaum muda juga akan semakin dilibatkan dalam kepengurusan lingkungan St. Bartolomeus Brosot. Harapannya, kaum muda semakin mempunyai rasa cinta kepada Gereja.

o Penghormatan leluhur. Dirasakan perlunya untuk berdoa kepada para leluhur yang mengembangkan jemaat di lingkungan St Bartolomeus Brosot. Ketiga leluhur, Bonifasius Kaswan, Theresia Sumartin, Katarina Sarjiah dapat menjadi pengantara doa kepada Bapa. Maka dalam doa-doa lingkungan atau perayaan Ekaristi di kapel St Theresia perlu diingat untuk berdoa kepada para leluhur. Semoga semangat hidup beriman para leluhur tetap dimiliki umat lingkungan St Bartolomeus di masa kini.

Demikian butir-butir refleksi yang bisa saya sampaikan. Semoga butir-butir refleksi ini dapat bermanfaat untuk menumbuhkembangkan kehidupan menggereja, teristimewa bagi umat lingkungan St Bartolomeus Brosot. Matur nuwun. Berkah Dalem.

Kentungan, 23 Oktober 2009

Hormat saya,

Fr. Ambrosius Heri Krismawanto