Selamat datang di BLog Gereja St. Theresia Brosot Bookmark and Share

Kamis, 22 Oktober 2009

Dari Sebuah Kerinduan Umat

Saya mendampingi umat di Kantris (Kanthongan-TrisiK). Ada dua hal yang menjadi kerinduan umat di wilayah Kantongan Trisik (Kantris) ini:

  1. Umat Kanthongan Trisik merindukan Romo yang mau turun ke bawah. Mereka merindukan romo yang mau menyapa mereka dan mengunjungi rumah mereka. Mereka merasa bahwa dalam hal peribadatan dan pelayanan sakramen, Romo sudah sangat baik. Tetapi dalam pastoral ke bawah, Romo dirasa masih kurang. Mereka merindukan kunjungan Romo ke rumah-rumah mereka. Bila sapaan ini bisa diwujudkan, alangkah bahagianya mereka. Hal ini tentunya dapat direfleksikan dari kisah Gembala dengan domba-dombanya. Apalagi Romo paroki bisa memperhatikan domba-domba “yang sudah keluar atau pun sedang mau keluar dari Gereja”, entah karena pernikahan atau karena alasan ekonomi. Mungkin inilah saatnya, Romo turun ke bawah untuk menyapa umat, dan melihat dari dekat apa yang benar-benar menjadi kesulitan dan kebutuhan umat. Dan inilah yang menjadi kerinduan umat di wilayah ini.
  2. Umat Kantongan Trisik juga merindukan adanya pemerataan biaya jika ada iuran-iuran untuk kegiatan Gerejawi. Ketika sharring, mereka mensharingkan bagaimana kesulitan mereka untuk melakukan iuran-iuran Gerejawi di tengah-tengah kesulitan hidup yang mereka hadapi. Mereka merindukan supaya ada pemerataan biaya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing wilayah. Mereka mengharapka agar Biaya untuk urusan Gerejawi tidak menjadi batu sandungan untuk pergi ke Gereja. Mereka ingin menyumbangkan seperti apa yang mereka mampu. Sejenak melihat situsi umat di wilayah Kanthongan Trisik. Umat di wilayah Kantongan Trisik, adalah umat yang merupakan umat yang sederhana. Mereka hidup dari pertanian, nelayan, buruh, dan pekerjaan tidak tetap lainnya. Dari sekian Kepala Keluarga (KK) yang ada, hanya ada beberapa KK saja yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan baik. Setelah dihitung-hitung oleh mereka sendiri, mereka menyimpulkan bahwa hanya ada 3 KK yang dirasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dengan baik. Yang lainnya, harus bekerja sedemikian keras untuk hidup sehari-hari dan untuk pembiayaan sekolah anak. Belum lagi kalau ada yang sakit. Hal ini tentunya dirasa berat oleh mereka jika mereka harus iuran sesuai dengan tuntutan yang ada. Umat di wilayah Kantongan Trisik menghendaki agar iuran-iuran yang ada disesuaikan dengan keadaan mereka. Semampu mereka untuk memberi iuranlah, itulah yang dikumpulkan. Jadi bukan seharusnya apa yang mereka kumpulkan, tetapi senyatanya apa yang bisa mereka kumpulkan. Selama ini, pembagian iuran tidak begitu, dan mereka mengeluhkan hal ini. Contoh konkret: pada waktu sharring, mereka menceritakan ada iuran untuk suatu kegiatan gerejawi. (mohon maaf, saya sendiri lupa nama kegiatannya). Setelah kebijakan mengenai pembiayaan kegiatan itu turun ke bawah, maka kebijakan itu sampai di wilayah. Ada kebijakan dari wilayah Brosot bahwa biaya kegiatan untuk wilayah Brosot dibagi rata sesuai dengan jumlah lingkungan yang ada. Akibatnya, lingkungan Kantongan Trisik mendapat jumlah yang sama dengan lingkungan lainnya, padahal jumlah KK yang ada di lingkungan Kantongan Trisik tidak sebesar lingkungan lainnya dan situasi sosial umat yang ada di Kantongan Trisik bisa dicermati dari uraian saya di atas. Hal ini yang tentunya membuat umat lingkungan Kantongan Trisik Keberatan. Harapan mereka, semoga hal ini dapat menjadi acuan bagi Romo Paroki untuk merumuskan kebijakan yang baik bagi semua umat, sehingga dengan demikian tidak ada umat yang merasa terbebani dan bahkan tidak menjadi batu sandungan bagi umat untuk pergi ke Gereja.

Kiranya dua poin itulah yang menjadi kenthos/galih dari refleksi saya. Atas perhatiannya, saya mengucapkan banyak terima kasih.



Hormat saya,

Fr. Robertus Wawan Setyawan

Pendamping Rekoleksi umat lingkungan Kantris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar